SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

Blog ini berisi tentang informasi - informasi yang berhubungan dengan minat, bakat, kesehatan, dan lain - lain utamanya yang berhubungan dengan pramuka, yang insyaallah bisa bermanfaat bagi penikmat semua...amien

Rabu, 09 Maret 2011

NASKAH BERUSIA 400 TAHUN DITEMUKAN DI PAMEKASAN

PAMEKASAN - Naskah kuno dari kitab Bahrul Lahut karya
ulama Indonesia, ditemukan di
Pamekasan, Madura, Jawa
Timur. Kitab yang ditulis
tangan itu ditemukan tim
peneliti dari Balai Litbang Kantor Kementerian Agama
Semarang di Pondok Pesantren
Sumber Anyar, Desa Larangan
Tokol, Kecamatan Tlanakan,
Pamekasan. “Kalau dilihat dari kertasnya, kitab ini diperkirakan ditulis
sekira abad ke-17,” ungkap Umi Masfiah, salah seorang
peneliti naskah kitab kuno di
pesantren itu, Rabu (9/3/2011)
. Kondisi kitab karya ulama asal
Aceh itu sebagian sudah tidak
utuh lagi dan banyak yang
berlubang karena dimakan
rayap. Ada sekira 80
eksemplar naskah kuno yang ada di Pesantren Sumber
Anyar, semuanya ditulis
dengan tangan. “Kalau jenis kitabnya ada sekira 120, dalam satu bagian
ada yang terdiri dari lebih dari
satu kitab,” kata Ketua Pengurus Perpustakaan
Sejarah Pesantren Sumber
Anyar, Kholis. Kitab Bahrul Lahut membahas
tentang filsafat Ketuhanan di
antara kitab dalam naskah-
naskah kuno yang ada di
perpustakaan itu. “Bahrul Lahut itu artinya samudera
Ketuhanan,” terang Kholis. Kitab ini sempat diklaim sebagai
karya ulama Malaysia, karena
menggunakan bahasa Melayu.
Namun kitab ini sebenarnya
buah karya ulama Indonesia
asal Aceh. Selain Bahrul Lahut juga
ditemukan naskah kitab kuno
karya intelektual muslim, Ibnu
Arabi berjudul Tuhfatul
Mursalah dan Kitabul Waqad
atau ilmu astronomi. Salah satu isi kitab astronomi
yang berbahasa Arab ini
menjelaskan tentang
peredaran bumi, bulan, dan
matahari. Menurut koordinator tim
peneliti Balai Litbang Kemenang
Semarang Zainul Atfal
penelitian naskah kuno ini
dilakukan untuk mendalami
khazanah ilmu keagamaan di Indonesia. “Kami memilih pesantren ini sebagai lokasi penelitian
karena untuk sementara,
naskah kuno terbanyak
berada di pesantren ini,” ucap Zainul. Naskah kuno ditulis di kertas
yang terbuat dari kulit kayu
dan menggunakan tinta dari
daun mimbo. Sebagian lainnya
ada yang dibuat menggunakan
kertas Eropa. Hal ini dimungkinkan karena naskah-
naskah tersebut ditulis dan
dicetak di Eropa pada masa itu. Ini dibuktikan dengan adanya
gambar transparan di tengah
kertas yang menunjukkan
kapan, di mana, serta
menggunakan kertas apa
naskah-naskah itu ditulis dan dicetak.

Selasa, 08 Maret 2011

10 ALASAN UTAMA SBI HARUS DIHENTIKAN

10 Alasan Utama SBI Harus Dihentikan JAKARTA, KOMPAS.com - Ada sepuluh kelemahan utama yang menjadi
alasan kuat bagi Kementrian
Pendidikan Nasional untuk
segera menghentikan program
sekolah bertaraf Internasional
(SBI). Mulai dari salah konsep hingga merusak bahasa dan
mutu pendidikan, program SBI
dianggap tidak cocok dan
harus segera ditinggalkan. Demikian dilontarkan Ketua
Umum Ikatan Guru Indonesia
(IGI) Satria Dharma dalam Petisi
Pendidikan tentang Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI)
yang dinilai sebagai program gagal. Petisi itu dipaparkan
Ketua Umum IGI Satria Dharma
di depan Komisi X DPR RI,
Selasa (8/3/2011), untuk
mendesak Komisi X segera
menghentikan sementara seluruh program SBI. "Program SBI itu salah konsep,
buruk dalam pelaksanaannya
dan 90 persen pasti gagal. Di
luar negeri konsep ini gagal
dan ditinggalkan," kata Satria
tentang isi petisi tersebut. Menurutnya, sepuluh
kelemahan mendasar program
SBI itu harus dievaluasi,
diredefinisi, dan perlu
dihentikan. Kelemahan
pertama, kata Satria, program SBI jelas tidak didahului riset
yang lengkap sehingga
konsepnya sangat buruk. "Bisa dibuktikan, bahwa tidak
jelas apa yang diperkuat,
diperkaya, dikembangkan,
diperdalam dalam SBI," tegas
Satria. Kedua, SBI adalah program
yang salah model. Kemdiknas
membuat panduan model
pelaksanaan untuk SBI baru
(news developed), tetapi yang
terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang
telah ada (existing school). Ketiga, program SBI telah salah
asumsi. Kemdiknas
mengasumsikan, bahwa untuk
dapat mengajar hard science
dalam pengantar bahasa
Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL> 500. "Padahal, tidak ada
hubungannya antara nilai
TOEFL dengan kemampuan
mengajar hard science dalam
bahasa Inggris. TOEFL bukanlah
ukuran kompetensi pedagogis," paparnya. Merusak bahasa Satria memaparkan, kelemahan
keempat pada SBI adalah telah
terjadi kekacauan dalam
proses belajar-mengajar dan
kegagalan didaktik.
Menurutnya, guru tidak mungkin disulap dalam lima hari
agar bisa mengajarkan
materinya dalam bahasa
Inggris. Akibatnya, banyak
siswa SBI justru gagal dalam
ujian nasional (UN) karena mereka tidak memahami materi
bidang studinya. "Itulah fakta keras yang
menunjukkan bahwa program
SBI ini telah menghancurkan
best practice dan menurunkan
mutu sekolah-sekolah terbaik
yang dijadikan sekolah SBI," tambahnya. Di sisi lain, hasil riset Hywel
Coleman dari University of
Leeds UK menunjukkan, bahwa
penggunaana bahasa Inggris
dalam proses belajar-mengajar
telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia siswa. Sementara itu, kelemahan
kelima dari SBI adalah
penggunaan bahasa pengantar
pendidikan yang salah konsep.
Dengan label SBI, materi
pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris,
sementara di seluruh dunia
seperti Jepang, China, Korea
justru menggunakan bahasa
nasionalnya, tetapi siswanya
tetap berkualitas dunia. "Kalau ingin fasih dalam
berbahasa Inggris yang harus
diperkuat itu bidang studi
bahasa Inggris, bukan bahasa
asing itu dijadikan bahasa
pengantar pendidikan," tegas Satria. Keenam, SBI dinilai telah
menciptakan diskriminasi dan
kastanisasi dalam pendidikan.
Sementara itu, kelemahan
ketujuh menegaskan, bahwa
SBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi
sangat komersial. "Komersialisasi pendidikan inilah
yang kita tentang, karena
hanya anak orang kaya yang
bisa sekolah di SBI," tandas
Satria. SBI juga telah melanggar UU
Sisdiknas. Karena menurut
Satria, pada tingkat
pendidikan dasar sekolah
publik atau negeri itu wajib
ditanggung pemerintah. Kenyataannya, dalam SBI
peraturan ini tidak berlaku. Kedelapan, SBI telah
menyebabkan penyesatan
pembelajaran. Penggunaan
piranti media pendidikan
mutakhir dan canggih seperti
laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah karena
tanpa itu semua sebuah
sekolah tidak berkelas dunia. "Program ini lebih
mementingkan alat ketimbang
proses. Padahal, pendidikan
adalah lebih ke masalah proses
ketimbang alat," katanya. Kelemahan kesembilan, lanjut
dia, SBI telah menyesatkan
tujuan pendidikan. Kesalahan
konseptual SBI terutama pada
penekanannya terhadap
segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan
segala hal yang nonakademik. "Seolah tujuan pendidikan
adalah untuk menjadikan siswa
sebagai seorang yang cerdas
akademik belaka, padahal
pendidikan bertujuan mendidik
manusia seutuhnya, termasuk mengembangkan potensi siswa
di bidang seni, budaya, dan
olahraga," ujar Satria. Kelemahan terakhir, SBI adalah
sebuah pembohongan publik.
SBI telah memberikan persepsi
yang keliru kepada orang tua,
siswa, dan masyarakat karena
SBI dianggap sebagai sekolah yang "akan" menjadi sekolah
bertaraf Internasional dengan
berbagai kelebihannya.
Padahal, kata Satria,
kemungkinan tersebut tidak
akan dapat dicapai dan bahkan akan menghancurkan kualitas
sekolah yang ada. "Ini sama saja dengan
menanam 'bom waktu'.
Masyarakat merasa dibohongi
dengan program ini dan pada
akhirnya akan menuntut
tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program
ini," kata Satria.